PENULIS : SAFWAN GHALI
BAB
II
ALIIRAN
MURJI’AH
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan,
penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah. kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka
bersifat netral. Tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak lagi golongan
yang bertentangan. Mereka tidak berpendapat, siapa yang salah dan benar tetapi
memandang lebih baik menunda (arja’a). maksudnya persoalan tersebut dapat
diselesaikan pada hari perhitungan. Sehingga sikapnya, menyerahkan penentuan
hukum kafirnya seseorang kepada Allah SWT.
Dalam
bidang teologi mengenai dosa besar, kaum murji’ah berpendapat. Bahwa orang
Islam yang melakukan dosa besar masih mukmin, tetapi soala dosa besar ditunda
penyelesaiannya dihari perhitungan. Sehingga berbeda dengan pendapat kaum
Murji’ah yang mengatakan kaum itu kafir.
Alasannya,
Murji’ah menganggapnya tetap mukmin. Sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap
mengakui bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan nabi Muhammad Rasul Nya,
syahadat inilah sebagai dasar utama apakah kafir atau mukmin. Sehingga dalam
persoalan Ini yang paling diutamakan adalah Iman. Perbuatan adalah persoalan
kedua. Jadi, Murji’ah berpendapat apakah, mukmin atau kafir karena kepercayaan
Iman bukan perbuatan.
Kaum
murji’ah menekankan pemikirannya siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari
Islam (soal iman). Kaum murji’ah lahir pada permulaan abad ke 1 H setelah
melihat hal-hal yang dibawah ini:
1. Kaum
syi’ah menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang-orang yang merebut pangkat
Khalifah dari Saidina Ali
2. Kaum
Kwarij menghukum kafir kahalifah Mu’awiyah karena melawan pada khalifah yang
syah yaitu Saidina Ali
3. Kaum
mu’awiyah menyalahkan pihak orang-orang pihak Ali karena memberontak melawan
saidina Utsman bin Affan.
4. Sebahagian
pengikut Saidina Ali menyatkan salah sikap ummmul mu’minin, Siti Aisyah sikap
para sahabat Thalhah dan zuber yang menggerakkaan perlawanan terhadp saidina
Ali sehingga terjadi apa yang dinamakan perang jamal.
Munculnya
aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah
(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam
terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok
Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela
Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut
Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan
Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti
Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah
menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya
milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah
karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga
golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana
pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin
terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian
berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam
perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan
mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang
yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui
Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini
merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam
yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan
Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah
aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap
mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi
dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini
menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
Pada
umumnya golongan Murji’ah dibagi dua golongan yaitu
1. Golongan
Murji’ah Ekstrim
Golongan
ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat,
bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran
secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati
lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian
meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut
tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut
Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan
kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah
kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Al-Baghdadi
menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji
hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah.
Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.
Al-Yunusiyah
berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah mengetahui
Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman
seseorang. Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang
mati dalam iman , dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan
merugikan yang bersangkutan. Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan
jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya
perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.
2. Golongan
Murji’ah Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman
dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan
akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini
bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.
Berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada
semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka berpendapat
bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa
pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah
memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan
Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang
fiqh damn hadist.
Tokoh
dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib,
Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah
mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang
rasul – rasulnya. Dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan.
Ada
gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam
adalah sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan
orang Islam yang patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian,
Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.
Ajaran
kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah
dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke
Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa.
Sebagai cabang dari iman adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun
– rukun Islam. Bagi orang yang melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa
obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun
atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa – dosa yang
dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak akan mungkin
kekal tinggal dalam neraka.
Keidentikan
pendapat yang berasal dari kaum Murji’ah antara lain :
Pendapat
Al-Baghdadi
Beliau
berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
- Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
- Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
BAB
III
PENUTUP
Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan,
penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan,
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah.
Munculnya
aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah
(kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam
terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok
Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela
Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut
Khawarij)
SEKTE-SEKTE
Murji’ah
1. Golongan
Murji’ah Ekstrim
Golongan
ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat,
bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran
secara lisan tidaklah kafir
1. Golongan
Murji’ah Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman
dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan
akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini
bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.
REFERENSI
Tharir
Abdul Mu’in Ilmu kalam (Jakarta: widjaya 1986)
Abdul
Rozak dan Rosihin Anwar, ilmu kalam, (bandung : Pustaka setia 2001)
Harun
Nasution, ensiklopedislam, Jakarta 1988
Tidak ada komentar:
Posting Komentar