Senin, 15 April 2013

ALIRAN MURJI'AH

PENULIS : SAFWAN GHALI
 
BAB II
ALIIRAN MURJI’AH

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersifat netral. Tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak lagi golongan yang bertentangan. Mereka tidak berpendapat, siapa yang salah dan benar tetapi memandang lebih baik menunda (arja’a). maksudnya persoalan tersebut dapat diselesaikan pada hari perhitungan. Sehingga sikapnya, menyerahkan penentuan hukum kafirnya seseorang kepada Allah SWT.
Dalam bidang teologi mengenai dosa besar, kaum murji’ah berpendapat. Bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mukmin, tetapi soala dosa besar ditunda penyelesaiannya dihari perhitungan. Sehingga berbeda dengan pendapat kaum Murji’ah yang mengatakan kaum itu kafir.
Alasannya, Murji’ah menganggapnya tetap mukmin. Sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan nabi Muhammad Rasul Nya, syahadat inilah sebagai dasar utama apakah kafir atau mukmin. Sehingga dalam persoalan Ini yang paling diutamakan adalah Iman. Perbuatan adalah persoalan kedua. Jadi, Murji’ah berpendapat apakah, mukmin atau kafir karena kepercayaan Iman bukan perbuatan.
Kaum murji’ah menekankan pemikirannya siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam (soal iman). Kaum murji’ah lahir pada permulaan abad ke 1 H setelah melihat hal-hal yang dibawah ini:
1.      Kaum syi’ah menyalahkan, bahkan mengkafirkan orang-orang yang merebut pangkat Khalifah dari Saidina Ali
2.      Kaum Kwarij menghukum kafir kahalifah Mu’awiyah karena melawan pada khalifah yang syah yaitu Saidina Ali
3.      Kaum mu’awiyah menyalahkan pihak orang-orang pihak Ali karena memberontak melawan saidina Utsman bin Affan.
4.      Sebahagian pengikut Saidina Ali menyatkan salah sikap ummmul mu’minin, Siti Aisyah sikap para sahabat Thalhah dan zuber yang menggerakkaan perlawanan terhadp saidina Ali sehingga terjadi apa yang dinamakan perang jamal.  
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
Pada umumnya golongan Murji’ah dibagi dua golongan yaitu
1.      Golongan Murji’ah Ekstrim
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.
Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.
Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.
Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan. Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.
2.      Golongan Murji’ah Moderat
 Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.
 Berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imama mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.

Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan.

Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.

Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.
Keidentikan pendapat yang berasal dari kaum Murji’ah antara lain :
Pendapat Al-Baghdadi
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
  1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
  2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.















BAB III
PENUTUP

Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau Arja’a, yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan, kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij)

SEKTE-SEKTE Murji’ah
1.      Golongan Murji’ah Ekstrim
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut jaham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir
1.      Golongan Murji’ah Moderat
 Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.







REFERENSI
Tharir Abdul Mu’in Ilmu kalam (Jakarta: widjaya 1986)
Abdul Rozak dan Rosihin Anwar, ilmu kalam, (bandung : Pustaka setia 2001)
Harun Nasution, ensiklopedislam, Jakarta 1988

Tidak ada komentar:

Posting Komentar